Mushaf Biru Aisyah
Mushaf Biru Aisyah
Pagi
yang penuh dengan kedamaian. Diawali dengan shalat Shubuh berjamaah, lalu mengaji bersama.
Ada si bungsu yang selalu mengantuk ketika diajak shalat. Bahkan sudah
menjadi sebuah kebiasaan jika ia tertidur dalam sujud akhir dan baru duduk
ketika Abinya sebagai imam mengucap salam. Biasanya Aisyah, sang kakak selalu meledek kalau sudah
melihat kebiasaan adiknya ini.
“Adek, mimpi apa tadi waktu sujud?” Aisyah
berbisik sambil tertawa kecil di hadapan adiknya.
“Adek mimpi makan ayam goreng,
Kak. Kayaknya ini pertanda Ummi akan masak ayam deh,” si kecil Fawaz mengedipkan matanya tiga kali, dan ikut
tertawa.
Sebuah
keluarga dengan penuh rasa cinta, memiliki dua anak kecil yang begitu mencintai
Al-Qur’an. Aisyah, berusia 8 tahun dengan hafalannya 3 juz dan Fawaz, 4 tahun baru menghafal juz ‘amma.
Abi dan Ummi-nya
bukanlah seorang penghafal, namun keduanya sangat semangat untuk menjadikan
buah hatinya sebagai anak anak pecinta Al-Qur’an.
Aisyah
masih dengan mushaf birunya.
Ia
tak pernah bosan menunggu matahari terbit dengan pose duduk di atas ayunan.
Rutinitas paginya sebelum berangkat sekolah adalah bermain ayunan sendiri sambil
mengulang hafalannya. Biasanya Abi Yusuf yang selalu menemani putri pertamanya
untuk menyimak hafalan Aisyah.
“Sudah jam enam, sayang. Nanti Aisyah
terlambat ke sekolah.”
“Tapi tinggal seperempat juz lagi, Bi…” Aisyah
masih terlihat serius mengulang hafalannya. Matanya terpejam menandakan dia
sedang konsentrasi.
Abi-nya yang sedang membersihkan taman tersenyum menoleh
pada Aisyah, dihampirilah putri pertamanya. Abi Yusuf duduk sejajar dengan Aisyah.
“Nanti pulang sekolah Aisyah lanjutkan lagi. Biar setelah
shalat Maghrib Ummi, Abi, sama Adek Fawaz nyimak hafalan Kak Aisyah, ya,”
Abi-nya tersenyum sambil menutup Qur’an Aisyah. Ditatapnya wajah
putri pertamanya.
Selalu
ada keteduhan melihat anaknya begitu mencintai Al-Qur’an.
“Siap Abi! Aisyah mau siap-siap, terus sarapan, terus sekolah. Abi bawain
mushaf Aisyah ke Ummi yah. Suruh taruh di tas Aisyah. Makasih Abi
sayang..” Aisyah lompat dari ayunan dan mencium
pipi kanan Abinya lalu bergegas memasuki rumah.
Begitulah
Aisyah, anak kecil yang sangat lincah dan ceria. Membuat rumah
tak pernah sepi. Ketika ia harus pergi jauh, Aisyah tak pernah melupakan mushaf
birunya untuk dibawa. Mushaf itu diberikan oleh Ummi-nya ketika Aisyah pertama menghafal juz satu. Awalnya, Ummi dan Abi-nya hanya ingin Aisyah mempelajari Al-Qur’an
dan cukup menghafal juz ‘amma
saja, namun keinginannya yang begitu kuat untuk melanjutkan hafalan sampai ke juz satu membuat Ummi dan Abi Aisyah sangat
bersyukur dan terus mendukungnya.
“Ummi, nanti kalo
Fawaz sudah besar berarti Fawaz bisa berangkat bareng Kak Aisyah, ya,” anak kedua yang sangat cerdas
ini tak pernah bisa diam di meja makan.
“Iya, nanti Kak Aisyah bonceng Adek pakai sepeda. Makanya cepet gede dong!” Aisyah menyantap suapan terakhirnya.
Tangannya membenarkan jilbab putih yang terlihat berantakan.
“Adek
tuh sudah
gede,
Kak. Abi saja yang belum ngebolehin Fawaz
buat sekolah. Kata Abi, Fawaz harus jagain Ummi di rumah sebelum jagain
Kak Aisyah di sekolah,” sambil melirik Ummi yang di
sebelahnya, memamerkan senyuman termanis.
Abi
dan Ummi-nya
hanya tersenyum dan geleng kepala mendengar celotehan kedua buah hatinya.
Selain shalat berjamah, sarapan dan makan malam adalah sebuah rutinitas wajib.
Biasanya juga satu bulan sekali kelurga mereka mengadakan rihlah
keluarga.
Abi
Yusuf selalu membuatkan tema liburan yang berbeda dan tentunya selalu ada
pelajaran yang dapat di ambil dari liburan itu. Keluarga ini sederhana, namun
terasa sempurna dengan hadirnya dua buah hati mereka. Aisyah dan Fawaz.
***
Suasana
di kelas begitu gaduh, puluhan siswa siswi berseragam putih hijau ribut bermain. Hanya beberapa yang duduk rapi dan belajar. Aisyah
termasuk anak yang mudah bergaul, dan berprestasi. Tak heran jika Aisyah
memiliki banyak teman dekat. Aisyah selalu diajarkan untuk bersikap baik pada
siapapun.
Sekalipun
ada seorang temannya yang kurang menyukai Aisyah.
“Assalamualaikum, anak-anak! Sebelum memulai
pelajaran hari ini kita awali dengan membaca basmalah,” Ustadzah
Arini memasuki kelas. Terdengar
jelas suara kekompakan satu kelas dalam membaca do’a belajar. Seperti biasa, wali kelas
mereka membagikan hasil ulangan minggu lalu.
“Rizal,
silahkan bagikan kertas ini. Dan anak-anak,
selamat untuk satu orang yang mendapatkan nilai 98!” Ustadzah Arini memberikan kertas
ulangan tersebut pada ketua kelas.
“Ustadzah
Arini, yang dapat 98 siapa? Naura ‘kan?” Naura yang duduk di
pojok depan angkat suara.
“Nanti diliat saja yah kertasnya” Ustadzah Arini tersenyum
sembari menghapus papan tulis. Terdengar
suara tawa anak anak dan mengucapkan selamat pada Aisyah. Aisyah mendapat nilai
paling tinggi di kelas dan naura memperoleh nilai 98. Terlihat wajah sinis Naura menghadap Aisyah,
tapi Aisyah hanya membalas tersenyum.
“Nggak usah
diliatin,
Aisyah. Mungkin dia iri
sama kamu,”
saran Lia teman sebangku Aisyah.
Kelas
pun memulai aktifitas belajar seperti biasa. Sampai bel menandakan waktu usai,
mereka bergegas untuk pulang. Usai membaca do’a dan bersalaman, Ustadzah Arini
memanggil Aisyah.
“Aisyah,
satu minggu lagi ada lomba tahfidz juz ‘amma
dan juz satu
se-kabupaten. Tadi
ibu sudah rapatkan dan sekolah setuju kalo
Aisyah bisa ikut mewakili sekolah kita.”
“Ustadzah
serius?” Aisyah terlihat sangat senang
“Iya,
besok Aisyah suruh Abi Yusuf ke sekolah ya buat mengisi formulir pendaftaran,” Ustadzah Arini nampak tersenyum manis.
“Siap, Ustadzah! Makasih Ustadzah
Arini. Aisyah pamit dulu ya. Assalamualaikum,” ucapnya sambil mencium tangan.
Di
balik pintu, rupanya Naura mendengar pembicaraan mereka. Ia nampak kesal karena
tak diikutkan lomba. Padahal dia juga memiliki hafalan juz ‘amma seperti Aisyah, walaupun juz satu
yang ia hafalkan belum khatam. Naura menunduk terdiam, Aisyah sudah
pergi tanpa melihat Naura. Ustadzah Arini terkejut melihat Naura masih duduk
sendiri.
“Naura,
kenapa masih di sini
sayang? Naura nggak pulang sama yang lain?” Ustadzah
Arini duduk memeluk Naura. Masih
terdengar isakan tangis Naura, ia masih belum mau berbicara. Namun setelah di
diamkan beberapa menit Naura mulai bercerita.
“Naura
sedih.
Kenapa
Aisyah selalu ada di atas Naura?
Padahal ‘kan
Naura juga bisa seperti Aisyah,”
ia mengusap air matanya. Ustadzah
Arini yang mendengar cerita Naura tersenyum dan mendekatkan wajahnya pada Naura.
“Naura
yang cantik, coba Naura dengerin Ustadzah ya. Naura itu pinter kok, Aisyah juga
pinter.
Murid-murid yang lain
juga pinter. Ustadzah Arini bangga punya murid seperti kalian semua,
tapi kita tidak boleh saling iri. Setiap anak punya kemampuan yang berbeda. Mungkin
sekarang memang waktunya Aisyah yang ikut lomba, dan kita harus mendukung. Sama
halnya kemarin Naura ikut lomba puisi, kan kita semua yang di sini juga mendukung Naura.”
“Tapi Aisyah lebih banyak hafalannya dari
pada Naura”
“Berarti Naura harus lebih semangat lagi
yah.
Nggak boleh nangis. Mungkin besok
kalo ada lomba lagi, Naura yang ikut,” keduanya tersenyum manis. Ustadzah Arini berhasil membujuk naura dan
mengajaknya pulang.
***
“Ummi, Ustadzah Arini tadi bilang kalo satu minggu lagi, Aisyah disuruh ikut
lomba tahfidz juz ‘amma sama juz satu,” Aisyah lari ke pangkuan Ummi-nya
yang sedang membaca buku. Ummi nya menutup buku, lalu
tersenyum menghadap Aisyah.
“Alhamdulillah,
Ummi seneng dengernya. Tapi Aisyah jangan lupa dong dibuka dulu
tas sama sepatunya.”
“Ups,
iya Ummi. Aisyah
lupa saking senengnya,”
Aisyah lalu tersenyum kecil sambil duduk membuka sepatunya.
“Horee! Kak Aisyah mau ikut lomba? Nanti Fawaz
duduk paling depan yah Ummi buat nyemangatin
Kak Aisyah. Siapa tahu kalo Kak Aisyah
liatin Fawaz, Kak Aisyah bisa jawab semua pertnyaan juri,” ucap Fawaz
yang tiba tiba muncul dari belakang Umminya. Ummi dan Aisyah saling menatap,
menahan tawa dan geleng kepala, selalu lucu dengan celoteh adiknya yang satu
ini.
***
Abi
Yusuf sudah mengisi formulir pendaftaran untuk perlombaan tahfidz Aisyah.
Tinggal bagaimana persiapan Aisyah dalam perlombaan ini. Setiap hari Aisyah tak
pernah bosan untuk meminta Ummi-nya
untuk memberi soal hafalan yang akan di ujikan. Mushaf biru kesayanganya
tak pernah luput dari tangan, hingga tertidur pun ia masih memeluk mushaf-nya. Aisyah tumbuh menjadi anak yang
sangat mencintai Al-Qur’an.
Bahkan
ia selalu meminta Abi nya untuk menghidupkan murottal di rumah.
Sampai
pada waktu perlombaan, Aisyah berangkat bersama keluarganya. Fawaz juga tak
berhenti mengoceh, mengikuti alunan nada yang Aisyah baca. Ustadzah Arini dan
beberapa kawan lainnya juga ikut mendukung Aisyah. Mereka sudah
berangkat bersama untuk memberi support pada Aisyah.
“Ummi,
kok Aisyah jadi deg-degan
yah . Panggungnya besar banget!”
ucap Aisyah sambil memeluk Umminya ketika berada di ruang perlombaan. Ummi Aisyah langsung duduk, mendekatkan
wajahnya pada putrinya yang memakai baju biru itu.
“Anak Ummi nggak
boleh takut dong.
Anggep
aja semua orang yang di depan Aisyah itu boneka. Aisyah cuma bisa liat Ummi, Abi sama Dek Fawaz yah sayang. Ummi yakin Aisyah bisa, bismillah
dulu yah sebelum maju,” dipegangnya pipi Aisyah.
Abi
Yusuf tersenyum sambil menggendong Fawaz yang katanya lelah berjalan. Keduanya
kompak menjawab,
“Semangat Kakak Aisyah!”
Yang
di sebut namanya lalu tertawa, dan menunjukkan wajah percaya dirinya. “Makasih Adek Fawaz, nanti fotoin Kakak dari sini, yah .”
“Siap, Kak! Nanti Fawaz suruh Abi yang fotoin,
soalnya Abi udah Fawaz ajarin cara ambil gambar yang bagus,” katanya sambil
membenarkan kacamata hitam.
Sepuluh menit sebelum perlombaan dimulai,
semua peserta sudah berada di belakang panggung. Rupanya di sana sudah ada Ustadzah Arini dan teman
teman lainnya yang menunggu Aisyah. Semua temannya memberi semangat dan Ustadzah
Arini memasangkan nomor
urut 3 ke jilbab Aisyah. Naura masih memandang Aisyah dengan tatapan yang
datar, Aisyah mengabaikannya.
Tepat
pukul 09.00 WIB, lomba sudah dimulai. Peserta pertama sudah maju menaiki
panggung, menjawab dengan baik semua
pertanyaan yang diajukan juri. Tiba-tiba
Aisyah memanggil Ustadzah Arini.
“Ustadzah,
Aisyah ke kamar mandi yah sebentar,” ia tersenyum tenang sambil meletakkan mushaf
birunya
di atas meja.
“Iya, sayang. Cepetan yah . Kan
Aisyah nomor
urut tiga,”
jawab Ustadzah Arini.
Aisyah
pun berbegas menuju kamar mandi, selang lima menit peserta nomor
urut dua maju menaiki panggung. Di depan sana, keluarga Abi Yusuf sudah duduk
rapi menunggu penampilan Aisyah. Ustadzah Arini bergegas menjemput Aisyah di
kamar mandi.
“Maaf, Ustadzah. Lama yah , hehe”
Aisyah muncul di balik pintu saat Ustadzah Arini berniat mengetuk kamar mandi.
“Ya sudah. Ayo, sayang. Aisyah bentar lagi maju.
Harus tenang,
yah ”
Ustadzah Arini selalu bersikap ramah dan manis.
Aisyah
bergegas mengambil mushaf biru-nya.
Ia bersiap memasuki arena panggung, namun tiba-tiba langkahnya terhenti saat membuka Al-Qur’an
halaman pertama juz satu nya. Ditatap nya dengan sangat lama Al-Qur’an
itu, lalu airmata Aisyah menetes membasahi lembaran Al-Qur’an nya.
“Aisyah,
kenapa menangis?” Lia sahabatnya terkejut ketika melihat Aisyah diam
Lia segera
memanggil Ustadzah Arini
yang kemudian bergegas menghampiri Aisyah.
“Aisyah
kok masih di sini? Ayo, nak maju. Kan Aisyah sudah di
panggil.” Aisyah tetap diam tak menjawab apa-apa. Aisyah
masih menatap lembaran Qur’an-nya. Ustadzah Arini yang peka langsung melihat ke
arah lembaran Qur’an Aisyah. Betapa terkejutnya ketika Arini melihat Al-Qur’an Aisyah
yang tersobek menjadi beberapa potongan kertas. Aisyah masih menangis.
“Astagfirullah, Qur’an Aisyah kenapa sobek
begini?” Ustadah Arini masih terkejut.
“Aisyah nggak mau maju. Aisyah nggak mau
ikut lomba kalo Qur’an Aisyah
rusak” airmatanya semakin deras
Sementara nama Aisyah sudah di panggil dari panggung, ia
tetap menolak untuk maju. Sampai sampai Ummi Aisyah menghampiri ke belakang
panggung. Ustadzah Arini menjelaskan bahwa sepertinya Aisyah tidak ingin maju
karena Al-Qur’annya rusak.
“Ummi,
siapa yang ngerusak Qur’an Aisyah? Aisyah nggak suka halaman
pertama sama keduanya jadi robek gini. Aisyah nggak mau
ikut lomba,
Ummi”
Aisyah memeluk erat Ummi-nya. Ummi Aisyah mencium kening anaknya.
“Mungkin ada yang nggak sengaja pinjam Al-Qur’an Aisyah.
Nggak apa-apa yah , Nak. Nanti Ummi belikan yang baru. Warna biru
juga. Sekarang Aisyah maju dulu, yah ,” sedikit terdengar isak tangis Ummi
Aisyah.
“Nggak mau Ummi. Aisyah maunya cuma Qur’an ini. Aisyah
nggak mau Qur’an baru. Aisyah mau benerin Qur’annya dulu,” mata dan
hidungnya masih terlihat merah.
“Ini, Abi bawa lem sama isolasi. Nanti Abi yang benerin
Qur’an Aisyah,
ya Nak. Sekarang Aisyah
ikut lomba dulu,”
Abi Yusuf dan Fawaz juga menghampiri Aisyah. Ustadzah
Arini dan sebagian teman temannya hanya menatap iba pada Aisyah. Ummi Aisyah
pun ikut menagis melihat betapa Aisyah sangat mencintai mushafnya.
“Sekali lagi, kami panggil peserta no 3 Aisyah
Salsabila,” terdengar jelas panggilang dari
panggung. Aisyah
langsung mengambil isolasi dan lem di tangan Abi Yusuf, lalu berlari menuju
panggung sambil memeluk Al-Qur’annya. Aisyah mendatangi ke 3 juri di depan,
semua penonton dan peserta lainnya ikut hening. Penasaran dengan apa yang
terjadi di atas panggung.
Aisyah duduk bersama salah satu Ustadzah yang menjadi
juri. Ternyata Aisyah menjelaskan kronologi mengapa ia telat menaiki panggung
dan lalu meminta ijin untuk merangkai memperbaiki robekan dari lembar Al-Qur’annya.
Juri
yang mendengar ikut terharu dan mencium Aisyah.
“Ustadzah,
Aisyah minta ijin untuk benerin Qur’an Aisyah dulu. Aisyah nggak tahu siapa yang rusakin Qur’an Aisyah.
Aisyah nggak suka Qur’an baru.
Kalo Aisyah harus
gugur dari lomba ini juga nggak apa-apa,” ucapnya dengan penuh kelembutan.
“Sini, Ustadzah bantu benerin Qur’an Aisyah yang robek,”
salah satu juri pun ikut membantu sambil menahan tangis. Aisyah juga ikut
merangkai kembali robekan pada lembar Al-Qur’annya. Isak tangisnya sudah
berhenti. Semua penonton takjub melihat kecintaan Aisyah pada Al-Qur’an.
Di sudut sana, tampak Naura melihat Aisyah begitu dengan
wajah iba. Naura menarik tangan Ustadzah Arini. Menandakan ia
ingin berbicara empat mata saja. Ustadzah Arini mengangguk dan berjalan mencari
tempat yang agak sepi. Sementara dari dalam sana, sudah terdengar suara merdu Aisyah
melantunkan ayat Al-Qur’an.
“Ada apa Naura?” tanya Ustadzah Arini.
“Naura mau minta maaf, Ustadzah. Sebenarnya yang ngerusak
Al-Qur’an Aisyah itu Naura. Waktu Aisyah pergi ke kamar mandi,
Naura ambil Qur’an Aisyah di atas meja.
Naura masih sebel sama Aisyah tapi nggak tahunya sampe Naura kena robek Al-Qur’annya. Terus Naura
taruh lagi deh” Naura menangis dan mencurahkan semuanya.Ustadzah Arini merangkul Naura
“Murid Ustadzah Arini hebat deh. Mau jujur sama
apa yang sudah diperbuat, tapi lebih hebat lagi kalo murid Ustadzah yang satu ini berani minta
maaf sama Aisyah.” Naura menghadap ke wajah Ustadzah Arini. Yang ditatap
hanya tersenyum manis.
“Sebagai seorang muslim, kita semua itu
bersaudara. Dan sesama saudara tidak boleh memiliki rasa dengki dan iri. Itu
sifat yang tercela. Naura paham,
‘kan?
Kalau mungkin bakat Aisyah di bidang tahfidz, Naura di bidang membaca puisi. Ya tidak
apa apa.
Naura harus bersyukur dan saling mendukung pada teman yang lain.”
“Lebih indah berteman baik ‘kan,
daripada menyimpan iri dan marah. Jadi Naura harus janji kalau Naura tidak akan
iri lagi, naura akan bersikap baik pada siapapun dan menghargai tiap bakat atau
kemampuan orang lain, janji?” Ustadzah
Arini mengacungkan kelingkingnya. Naura
tersenyum membalas kelingking Arini.
“Iya Ustadzah, Naura akan minta maaf pada Aisyah dan
berjanji tidak akan iri pada siapapun.” Naura mengusap air matanya “Ustadzah
mau anterin naura nggak buat minta maaf sama Aisyah?”
“Yuk!”
Ustadzah Arini menggandeng tangan Naura, pergi menghampiri Aisyah yang sedang
tampil.
Dari depan panggung terlihat wajah Aisyah
yang penuh ketenangan, mushaf biru-nya
masih di peluk erat, matanya terpejam menjawab soal soal yang diberikan juri.
“Kallaa saya’lamuun, silahkan Aisyah lanjutkan,” ujar salah seorang juri.
“Tsumma kallaa saya’lamaun. Alam najalil ardho mihadzaa. Wal jibaala autaada. Wa kholaqnaakum azwajaa.”
“Mumtaz, Aisyah! Aisyah mampu
menjawab semua soal dengan lancar dan baik. Terimakasih, sayang” ucap seorang juri dengan penuh
takjub.
Aisyah
berdiri menyalami semua juri, berlari menuju Abi dan Ummi-nya. Fawaz langsung memeluk Aisyah.
“Kak Aisyah kellenn” Fawaz tertawa
lucu
“Makasih, Adek. Kan, Kak Aisyah didoakan Ummi sama
Abi,” terlihat wajah Aisyah yang penuh keceriaan.
Tiba
tiba Ustadzah Arini, Naura dan teman teman lainnya juga menghampiri Aisyah.
Menyalami penuh selamat serta mendoakan agar Aisyah mendapat juara. Aisyah yang
melihat kedatangan Naura
langsung bersembunyi di balik punggung Abi-nya.
“Aisyah
kenapa sayang? Itu loh ada temen-temennya,” Abi Yusuf mencoba membujuk Aisyah.
Ustadzah
Arini menghampiri Aisyah,
“sini salaman sama Ustadzah, selamat yah . Aisyah hebat banget tadi!” Aisyah
tersenyum dan menyalami Ustadzah Arini,
matanya masih menatap Naura.
“Qur’an-nya Aisyah gimana? Coba Ustadzah
liat” Aisyah menunjukkan mushaf biru-nya. Ia menunduk
lagi. Memperhatikan lembaran kertas yang ia perbaiki sendiri. Lalu Naura
mendekat, menjulurkan tangan pada Aisyah.
“Aisyah,
maafkan Naura,
yah .
Naura yang bikin Qur’an Aisyah jadi rusak. Naura janji nggak akan ngulangin
lagi. Naura mau jadi anak baik seperti Aisyah.”
Aisyah
terdiam, menatap Ummi-nya.
Ummi dan Abinya hanya mengangguk, mereka yakin Aisyah pasti sudah paham apa
yang harus ia katakan.
“Ia, Aisyah sudah tahu kok. Soalnya dari kemaren Naura
nggak pernah suka sama Aisyah. Aisyah juga sedih, Aisyah nggak ingin
punya musuh. Maafkan Aisyah juga ya,
Naura,” Aisyah menyambut ulur tangan Naura. Keduanya besalaman dan saling
tersenyum. Teman teman yang saling bertepuk tangan meriah.
“Nah,
kalian cantik kalau begini,”
Ustadzah Arini tersenyum memeluk mereka berdua.
“Kak Aisyah, ayo poto belsama dulu.
Abi tolong angkat kamera,”
tiba-tiba suara Fawaz
mengalihkan perhatian. Semua
tertawa renyah, Fawaz memang selalu menggemaskan. Abi Yusuf akhirnya mengeluarkan
kamera dan mengatur anak anak untuk bisa foto bersama.
“Satu, dua, tiga! Katakan,
Aaa!” Abi Yusuf memberi perintah dan
mengambil gambar. Mereka
tertawa bahagia, langit biru tampak lebih indah melihat pedamaian yang terjalin
antara Aisyah dan Naura.
Hidup
akan berwarna ketika kita mau saling menghargai, mendukung dan berteman dengan
siapapun. Mushaf biru Aisyah membuat Naura tersadar, bahwa memusuhi teman
hanya karena rasa iri adalah akhlak yang tidak mulia. Maka, mari hidupkan
pertemanan dengan sebuah rasa cinta.
Comments
Post a Comment