Secangkir kenangan bersama teh tarik hangat



Kenangan. Terbuat dari apa kenangan itu? Apakah kenangan itu seperti secangkir teh tarik hangat yang selalu di rindukan ketika dingin menyapa? Atau seperti purnama yang selalu menawarkan senyum kedamaian pada malam hari?

Ah, begitulah hidup. Penuh kenangan dengan berbagai serpih cerita lusuh. Sebuah kisah yang selalu bersambung dalam tiap episode. Kadang terangkai dengan sempurna keindahannya, hingga kita selalu merindukan kenangan itu. Kadang pula tercabik sana sini, dan meninggalkan perih yang mengiris.

Aku ingin menjadi bagian dari kenangan itu,  sepotong scene dalam kehidupanmu yang tak kan pernah terlupa. Tapi apa mungkin?

Rintik hujan sore menyisakan rindu, secangkir teh mulai memberi kehangatan. Kenangan itu terus menjelajah pada bilik hati  yang sendu. di saat malam senyap, atau ketika berada di sebuah sudut tanpa batas, kenangan itu perlahan datang, mendadak di depan mata, terlihat ia pun menikmati secangkir teh hangat, senyum nya sangat mudah ku kenali, tapi tidak! Tiba-tiba semua lenyap begitu saja. Sirna tanpa menyisakan sepatah kata. Bukan hanya itu, bahkan kadang bayangnya membentuk sebuah gambar di bingkai kaca, dan melambai- lambai bak fatamorgana. jika selalu seperti ini, mungkin aku akan menjadi penderita skizofrenia. Tapi benar! Kenangan memang maya,namun  tanpa sadar sering di tarik dan di rasa lewat alam nyata.

Seperti malam ini, sudah berkali kali bukan? Aku bahkan lelah menghitung malam yang begitu kelam di nikmati, aku mengenang mu bersama semua cerita dan bayangan yang pernah ada.  Membentuk sepetak fatamorgana di depan mata, di temani cangkir mungil teh tarik yang dulu selalu kau suguhkan untuk menikmati malam kita. bersama chocholate nutz yang manisnya seperti masih tertinggal di ujung lidah. Biasanya kau selalu bercerita bagaimana kita akan menjalani hari untuk masa depan, bahkan kata yang tak pernah terlupa adalah ketika kau berucap bulan di atas lebih cantik dari pada wajah di depan mu. Aku hanya bisa mengingat dan mengenangnya, karena saat ini  pertemuan sudah menjadi sesuatu yang asing bagi kita. 

Sebuah pertemuan yang kau  tawarkan sore itu, mebuat mataku menjadi bersinar, kantuk ku di siang hari menjadi lenyap.6 bulan yang terlewati dalam kesendirian itu merasa terobati dengan tawaran mu. Aku tak banyak bertanya, hanya meng iya kan saja. Karena bagiku, pertemuan adalah penyegar bagi dahaga panjang kenangan. “kita bertemu di tempat biasa ya sore ini, ada beberapa cangkir yang harus kita habiskan bersama” begitulah pesan yang terbaca dari layar ponsel ku.
“oke” aku membalas nya cepat. Tidak kah kau tau? Aku sangat antusias. Ini adalah kabar pertama setelah enam bulan kau pergi dan melarangku bertanya banyak hal. Tapi tak apalah, bukankah aku selalu memaafkan apapun keadaannya yang terjadi, bahkan aku tak menghiraukan nasehat mereka untuk memberi jarak dalam hubungan ini. Ponsel ku bergetar lagi “ sepulang kerja, aku segera kesana. Kamu tunggu saja” masih saja seperti itu, begitu datar, tanpa icon senyum, bahkan memanggil namaku saja tidak. 

Pertemuanku dengan rendy memang sederhana, bahkan sangat sederhana. Pertemuan antara dua makhluk yang tak sengaja menjadi scenario yang begitu menumbuhkan banyak kenangan. bergegas ku ambil kunci mobil, di situ masih menggantung indah huruf “R” gantungan yang begitu sayang untuk di lepaskan,  apakah ia juga masih menyimpan gantungan berinisial “L” itu? Antara seorang rendy dan luna. Aku masih ingat, Ia memberi gantungan itu setelah ia mentraktirku secangkir teh panas dari hasil gaji pertamanya. ah mengenang  ini membuang waktu ku saja. Bukankah aku harus berangkat sekarang?

Aku dan rendy memiliki tempat favorite, sebuah café sederhana yang selalu kita promosikan pada teman-teman saat kuliah dulu. Biasanya, kami bertujuh datang ke tempat ini. dan hanya aku dan rendy yang selalu memesan teh tarik hangat. Sesekali, biasanya kita menyisihkan waktu kerja kita untuk sekedar menyeduh teh hangat ini. rendy selalu memilih tempat duduk di lantai dua. Sofa hitam dengan paduan coklat muda menjadi tempat duduk favorite kami. Di tempat inilah kami merasa memiliki ruang tersendiri, meski jarak dengan kursi yang lain tidak terlalu jauh.

Masih di tempat itu, sore ini aku pun datang memenuhi permintaan nya. dengan menggenakan blazer biru juga syal hitam, aku duduk santai menunggunya datang. Menunggu kenangan yang mungkin saat ini menjadi sebuah realita.aku cemas namun penuh harap. Ku ambil ponsel dalam tas, nomor ponsel rendy sudah tertera di layar, namun batin ku berperang antara ia dan tidak ketika aku akan menelponnya. Tidak! Aku mengurungkan niat ku, ia tak mungkin ingkar janji.
Tiba-tiba sebuah pesan singkat masuk lagi “aku agak telat, bisa tunggu sebentar lagi ya na..” menunggu sebenarnya sangat membosankan, tapi bukankah dulu ia juga selalu menungguku saat datang menjemput pergi.
“ah, yasaudah tidak apa-apa. Aku akan menungguaku me-replay pesan singkat nya.

Aku melihat jam tangan, dari ujung jalan sana terlihat senja mulai turun. Merah keemasan menyiratkan berbagai kisah hari ini. aku semakin yakin jika putaran waktu semakin tidak bisa di tebak dan terukur. Waktu terus bersingut hingga berada berada di antara bibir senja dan malam. Cahaya mentari mulai meredup di gantikan sinar-sinar lampu kuning. Udara sedikit sejuk. Ini sudah satu jam aku menunggu.
Jika ini memang pertemuan, mungkin inilah takdir. Sebuah takdir yang terus menjaga perasaan kita bertahun-tahun tanpa bisa berbuat apa-apa. Jika memang kau datang kembali,  inilah takdir yang membuat sebentuk pertemuan indah. Seperti pertemuan mentari dan batas cakrawala yang selalu menawarkan keindahan berbeda. 

Aku tetap bertahan, menunggu tanpa batas waktu. Setelah enam bulan ia menghilang, aku ingin sekali menatap nya. aku takut, jika pertemuan ini tak kan terulang lagi, jangankan pertemuan, bertukar suara via telpon saja tidak pernah. Kurun waktu sering tak menentu, aku pun tak pernah memahami yang sebenarnya. Kadang ia datang, namun kadang ia pergi tak tentu arah. Begitu juga dengan cerita ini. penuh antara kejutan dan kenangan. Jantung ku berdegup makin kencang, benakku terus di penuhi dengan sebuah pertanyaan. Pertemuan ini, jadi atau tidak? Apakah aku harus pulang? Atau aku harus menangis karena merasa begitu bodoh?
Aku memtuskan untuk menunggu, kenangan yan mungkin aku akan mendapatkannya kembali. Aku mengerti, empat tahun berteman akrab dengan nya adalah bayangan masa lalu saja. Kita berdua memang pernah memendam kekaguman tanpa harus banyak berkata. Menyimpan rasa tanpa harus tau kemana jejaknya akan pergi. Dulu Rendy selalu berkata bahwa sebuah rasa dan kekaguman bukanlah sesuatu hal yang harus di bicarakan. Karena rasa akan di jawab dengan rasa, jiwa akan di balas dengan jiwa. Tapi aku? aku seorang wanita yang terkadang selalu takut bahwa rasa ku bertepuk sebelah tangan. Tapi aku mencoba menghargai caramu, aku juga tak ingin ada ada orang lain menjadi elemen ketiga dari rasa kita. dan selama empat tahun, kita hanya diam namun sedikit pun tak pernah tertinggal senyum manis dari sebuah kekaguman ini. 

Aku mulai bosan, pikiran ku mulai berkecamuk. Aku ingin memberontak, usia ku sekarang 24 tahun. Apa salahnya jika aku ingin membayar semua rasaku yang terpendam? Bukankah rendy juga mempunyai rasa yang sama? Aku tidak ingin menyalahkannya karena enam bulan ia pergi tanpa kabar, aku hanya ingin menikmati semua ini berdua, dengan rasa, jiwa dan tanpa curiga. Tanpa orang lain yang kadang tak paham dengan dunia kita rendy…

Air mata ku ruah, aku memesan secangkir teh tarik hangat, minuman kesukaan rendy yang membuatku begitu jatuh cinta. Selama enam bulan, bayangan rendy hanya tertumpah lewat secangkir teh tarik, aneh memang. Aku juga bisa membuatnya sendiri tanpa memesan di café. Tapi tempat ini yang menjadi sejarah tentang kita, dan aku selalu rindu pada kejap matanya ketika menghirup kepul uap teh yang masih panas ini.

Aku mulai tak sabar, hingga aku mengirim sms pada rendy “ sudah sampai mana?atau aku pulang saja?” tak ada balasan yang aku terima.
Mungkinkah dia mengalami masalah di jalan? Atau dia benar-benar tidak akan datang? Secepat mungkin aku menghapus pikiran negative itu. Ku ambil cangkir the hangat ku, sekaligus meminum tiga teguk.

Malam semakin pekat. Rembulan tiba-tiba muncul di angkasa, menyeruak dari balik awan hitam yang telah menyelimuti langit di sore hari. Rembulan itu indah sekali meski bukan saat purnama. Bulan itu seperti tersenyum, menawarkan sebuah keindahan malam setelah beberapa malam ini selalu tersembunyi. Aku kembali bertanya, apakah bulan juga menyimpan dunia keindahan? Apakah disana juga ada dua insan yang menyimpan kenangan dan memendam rindu?

Debar jantung mulai bergeser jadi resah. Aku membunuh waktu dengan membaca buku kesukaan ku yang belum selesai kubaca.ah! tetap saja aku resah. Kenapa rendy lama sekali? Penat dan gerah sudah tak mampu ku tahan. Batinku seakan ingin memakinya. Tapi lagi lagi ada yang membuatku diam, memejamkan mata dan berpikir. Haruskah aku marah?

Tiba-tiba aku mencium bau nya yang khas, itu parfum yang sangat ku kenal. Ya, sekali lagi aku yakin bahwa sosok nya akan hadir didepan ku. Aku menoleh ke belakang, batinku melayang, sepertinya aku tak perlu memberi senyuman manis padanya, pikiranku berkecamuk. Ia menggandeng wanita cantik dengan gaun merah, anggun sekali.

Aku memilih menatap sofa hitam di depanku, tak ku hiraukan ia akan melangkah di hadapan ku. Tempat duduk ini bukan lagi milik aku dan rendy. “luna, maaf membuatmu menunggu selama dua jam” ia menyalamiku. Apa? Dua jam? Jadi enam bulan yang lalu itu apa? Bukankah aku selalu menunggu kabar dari sebuah rasa yang terpendam itu? Mataku mulai berkaca kaca. “luna? Kamu marah?” ia menyadarkan lamunan ku. “ah, ia rendy. Tidak apa-apa” aku tersenyum pahit, sepahit hatiku ketika melihat jari manis nya di hiasi cincin yang sama dengan wanita itu.

Dunia ini benar benar gelap. Aliran darah ku seakan berbalik arah. Seribu Tanya yang berkubang di kepala berubah menjadi beku.”ini putri, kami bertunangan tiga bulan yang lalu. Maaf tidak sempat mengabari. Acara nya mendadak, karena dia juga bertugas sebagai pramugari” masih seperti dulu, ia selalu bercerita dengan riang. Tidak kah ia mengingat sedikit kenangan bersama ku? Apakah ia sudah lupa dengan secangkir teh tarik hangat yang selalu kita pesan? Lalu untuk apa aku menunggu sekian lama, jika ia hadir dengan membawa gores luka. Aku meneguk teh ku yang sudah dingin itu. Air mata ku ruah, kali ini aku benar-benar tidak kuat.
“rendy trimakasih, tapi aku harus pergi” aku membuka gantungan berinisial “R” itu dari kunci mobil ku, ku letakkan saja di hadapannya. Semoga hatinya sedikit berbisik bahwa aku masih setia, bahwa aku merasa sakit, dan tentunya sangat kecewa.

“luna tunggu, ada apa?” ia berlari ke hadapan ku
“ada badai di hadapanku, dan aku tidak ingin mati karena badai itu” bibir ku bergetar, hatiku tak kuasa menatapnya. Aku pergi.

Secangkir kenangan bersama teh tarik hangat, manisnya berubah menjadi pahit, membuat tenggorokan sakit bagi siapapun yang meminumnya. Hancur! Mungkinkah seorang luna yang terlalu berharap? Atau rendy yang tiba-tiba amnesia hingga ia sangat tidak peka? Entahlah, mari melupakan kenangan pahit ini.

Comments

Popular posts from this blog

Teori Uses And Gratification

Cara Menjaga Konsentrasi Dalam Menghafal Al-Qur’an

MADURA, I AM IN LOVE: MADURA DI MASA DEPAN