Ayah, Usiaku 20 Tahun



Ayah, usiaku 20 tahun
Aku dan sahabat
Dimas Alfian Gunawan itulah namaku, anak semata wayang dari seorang Ayah yang menjabat sebagai direktur lembaga bantuan hukum di Jakarta.  Mamaku seorang designer dan juru masak terhebat di rumah. Kau tau? Bagiku, menjadi seorang anak adalah hal yang membosankan. Hanya menuruti apa kemauan mereka. “belajar dan berprestasi” itulah rumus kehidupan yangkurasakan. Kata temen-temen sih, aku cowok keren.
Noval Syahputra sahabat  yang paling membuatku merasa iri. Bukan karena dia yang jago musik ataupun punya tampang laku di depan cewek-cewek. Keluarga dia sangat sederhana, tak ada kekangan harus selalu menjadi unggul dalam sekolah. Dia sohib aku banget.gokil, puitis, bijak dan paling bisa ngertiin aku. Sepertinya kami sudah lama saling mengenal. Enam tahun membuat kita saling terbuka dalam berkomunikasi.
###

Usiaku 5 Tahun
“Juara 1 diraih oleh Dimas Alfian Gunawan, putra dari bapak Hendra Prabowo, S.H., M.Hum,” terdengar gemuruh tepuk tangan yang begitu meriah, belum lagi berbagai ucapan yang sangat riuh dalam ruang pertemuan.
“Ayo sayang, maju ambil pialanya,” bisik Mama.
Aku pun menaiki panggung, menerima penghargaan, berfoto ria bersama teman dan guru-guru. Terlihat seukir senyum manis di sana. Ya! Ayahku tersenyum bangga.
                                                                        ###

Jangan bilang aku tidak bahagia. Sebagai seorang anak berusia 5 tahun, aku sangat bahagia mendapat hadiah berlibur ke bali. Ini prestasi pertamaku, dan ini hadiah pertama dari Ayah. Ayah sengaja mengosongkan jadwal kerjanya selama 3 hari.
Ayah selalu begitu seterusnya. Memberiku hadiah, ketika aku mendapatkan prestasi. Sudah menjadi hal yang biasa! Aku ingat dulu masih usia 6 tahun pun, aku harus hafal doa-doa, rukun iman, atau rukun Islam terlebih dahulu untuk bisa mendapat kan 5 buah permen Pindy.
“Dimas…kalau kita ingin mendapatkan hal yang kita inginkan, kita harus berusaha. Kalau Dimas pengen jadi anak pinter, ya Dimas harus belajar. Semuanya butuh proses. Sama kayak proses Dimas bisa dapet 5 permen Pindy, harus menghafal satu doa dulu” nasehat Ayah sambil menertawaiku.
Seperti itulah Ayah mendidikku. Aku tau Ayahku bukanlah orang yang santai dengan pekerjaan, Ayah juga bukanlah seseorang yang memiliki banyak waktu luang bersama keluarga.sebagai seorang direktur lembaga bantuan hukum, Ayahku harus mengurus berbagai kasus dan menjadi konsultan juga.tak heran jika terkadang karena urusan yang begitu rumit, Ayah melampiaskan semuanya di rumah.terlebih ketika melihat nilaiku yang tiba-tiba anjlok.amarahnya  membuatku begitu takut, lebih pendiam dan tak berani lagi berbagi cerita dengan nya.
“Dimas, PR Matematika nya sudah dikerjakan?” tanya Ayah sembari mengecek berkas-berkas nya.
“Sudah yah, ini,” kusodorkan buku Matematikaku dengan ragu.
“Lho, ini kok dapet 60? Ini tugas kamu yang kemaren? Masak perkalian aja nggak bisa? Turun kelas aja kalo gitu!” Ayah membentakku.
Aku diam tak berkata, Ayah mengambil sapu lidi, aku memejamkan mata. Takut.
“Ayah! Jangan.Dimas ini kan baru kelas 4 SD. Jangan kasar gitu” Mama memelukku, mengusap air mataku.
“Liat ini nilai nya. Kelas 4 kok Matematika-nya dapet kayak gini! Ayah juga ketua komite di sekolahnya. Gimana kata guru-guru yang lain?” Ayah membentak Mama.
“Sudah! Berhentinggakk usah ikut latian teater, drama, musik” Ayah melempar bukuku
Semua terekam jelas, terlihat dengan mata kepalaku. Aku takut Ayah…!               
###

Usiaku 10 Tahun
Saat itu aku kelas 5 SD. Dan saat itu juga aku keluar dari segala kegiatan ekskul yang aku ikuti. Semua teman-teman bertanya. Guru pembimbing merasa kecewa. Aku diam! Tak memberi penjelasan dan tersenyum.
“Bro..kenapa sich! Akhir-akhir ini jadi pendiem. Nggak pernahnggakbung drama lagi. Katanya hobi musik tapi malah ngilang,” Noval menepuk pundakku.
“Males aja, daripada pelajaranku terbengkalai,” masih dengan nada rendah.
“Hei, kamu tuh jangan hidup dalam genggaman tangan seseorang. Yang lebih kenal diri kamu itu ya kamu.kamu berhak atas hobi dan bakat kamu. Orang berhasil tuh bukan karena pinter Matematika aja kok,” sambil menutup buku Matematika yang dari tadi aku corat-coret
Aku menoleh heran, mengerutkan dahi mendengar nasihat nya.
“Kenapa? Kaget! Hey aku ini kan sohib kamu, tenang aja! Everything will be okay bro…,” jawabnya sambil tertawa
                                                                        ###

Tidak banyak  yangku lakukan. Semenjak melihat Ayah marah karena nilaiku dan juga melihat Ayah membentak Mama yang membelaku, aku bukan lagi Dimas yang aktif dalam kegiatan. Aku menolak di ikutkan lomba pidato, aku beralasan untuk diikutkan dalam lomba teater. Dan aku benci ini. Aku merasa sulit menjelaskan semuanya. Aku sayang Ayah, namun aku tak lagi melihat wajah damai itu. Yang selalu tersenyum seperti dulu aku berusia 5 tahun, yang biasanya setiap pagi mengajakku bersepeda bersama, memberiku pilihan tempat untuk rekreasi keluarga.
Ya! Usiaku 10 tahun. Aku tak ingin menatap wajah Ayah ketika membentakku, aku juga tak ingin melawan, semua menjadi rumit untuk anak seusia aku. Aku berusaha untuk selalu membahagiakan semenjak kecelakaan itu menimpa Ayah.
“Mana Dimas, Ma?” ucap Ayah dengan nada yang sangat lemah.
Aku berjalan pelan menghampirinya, terlihat selang infus dan oksigen di pasang pada tubuh Ayah. Kemarin malam, Ayah harus mengalami kecelakaan tragis. Truk besar menyerempet mobil Ayah, hingga Ayah mengalami luka di kepala-nya.
“Iya, Yah, ini Dimas,” aku menyalami Ayah takzim.
“Dimas lagi apa? Nggak sekolah? Dimas nggak usah jaga Ayah. Di rumah aja ya, sama Bibi. Nanti sekolahnya diantar-jemput Pak Ijal” pesannya lembut.
Aku hanya mengangguk, Mama pun begitu. Ayah terlihat sangat lemas. Rasanya aku tak perlu membenci karena amarahnya kemarin.aku mencintai Ayah, bagiku Ayah tetap seorang lelaki hebat.
Kamar semakin dipenuhi dengan rekan yang menjenguknya. Aku melangkah mundur. Mengambil mushaf kecil pemberian Ayah. Mengaji dan berdoa untuk kesembuhan Ayah. Biasanya seusai shalat Maghrib, aku, Ayah dan Mama selalu mengaji bersama. Setelah itu, kita makan bersama dan Ayah sudah menjadi kewajibanku belajar dari pukul 19.00 sampai 20.00 WIB. Tapi dua malam yang lalu, Ayah mendapat telepon mendadak dari staf kantor nya. Ada urusan darurat yang harus segera diselesaikan. Dan kecelakaan tragi situ terjadi. Ayah! Usiaku 10 tahun. Aku sangat takut, takut kehilangan Ayah.
###

Waktu terasa semakin cepat berlalu, tak terasa aku akan menjadi wisudawan kelas 6 SD. Aku lulus di usia 12 tahun. Aku membuat Ayah harus maju ke atas panggung menerima piala penghargaanku sebagai wisudawan terbaik ke 2. Ayah tak memarahiku,  Ayah sekarang lebih mengerti potensi dan bakat aku. Mama saja tak pernah melarangku untuk belajar musik ataupun teater.
“Mas Dimas tadi cakep ngasih pidato Bahasa Inggris-nya” puji Mama sambil membenarkan toga wisudaku.
“Rekereasi yuk, Ma, Ayah,”
“Ayah besok harus keluar kota satu minggu”
“Yah, ya sudah nggak apa-apa. Dimas di rumah sajalah, nemenin Mama jaga butik,” aku mendengus kesal.
###

Libur panjang ini, aku kembali bermain musik dengan teman-temanku. Kali ini aku mempunyai grup band yang bisa di bilang lumayan lah untuk seusia kami. Biasanya kita selalu latihan di rumah Noval. Bahkan kita berniat untuk melanjutkan di SMP yang sama, agar bisa selalu mengembangkan band kami. Noval, Andre, Bagas dan aku memang sudah menjadi sejawat dari SD.
Kami berempat mempunyai kebiasaan yang tak pernah pudar. Kalau sudah mengerjakan tugas, basecamp-nya di rumahku yang alasannya mereka dengan mudah menemukan buku di perpustakaan pribadiku yang dibuatkan Ayah. Kalau bermain musik, biasanya kita di tempat Noval, dan kalau Bagas memang biasanya jadi tempat bermain dan olahraga. Jangan ditanya, semua perlengkapan olahraga dia punya. Bahkan dia sudah punya cita-cita untuk kuliah mengambil pendidikan olahraga.
Namun, rupanya takdir tak menyatukan kita. Ayah memberiku keputusan untuk melanjutkan sekolah di Jogja, menemani nenek dan kakek. Supaya mereka berdua tidak selalu bolak-balik Jakarta jika merindukan cucu-nya yang paling nggak ganteng ini. Ada rasa bahagia, karena aku sudah bosan dengan kota metropolitan ini, tapi resiko nya aku tidak lagi bersama mereka, Noval dan Bagas. Aku mengusaikan semua rencana kita.
“Dimas, dengar Mama ya sayang…..Dimas itu satu-satunya anak Mama. Cowok lagi. Jadi Mama percaya kalo Dimas bisa jadi cucu yang baik buat nenek sama kakek. Dimas jangan merasa Mama sama Ayah jahat yah…nanti tiap hari pasti Mama telpon kok. Hidup itu tantangan, sesekali Dimas harus lebih mandiri menghadapi tantangan itu,” Mama mengusap air matanya, mencium keningku.
Pak Ijal dan Bi Romlah sudah membawakan koperku, siang ini juga aku diantar Pak Ijal ke Jogja.
“Dimas belajar yang rajin yah, Ayah yakin Dimas pasti betah,” ucapnya singkat sambil menepuk pundakku.
Aku bahagia, sungguh! Aku menganggap ini sebuah perjalanan di hari libur. Tapi menatap mata Mama, membuatku hatiku menjadi sendu. Usiaku 12 tahun, belajar lebih mandiri tanpa Ayah dan Mama.
Usiaku, 15 Tahun
Masihkusimpan setangkup rindu,
dalam sudut hati dimana keresahan membias sendu
seperti tinta hitam yang merindukan kertas putih
Ya! Aku rindu merangkai kata dalam bait cerita
Aku rindu melukis sajak cinta dalam balutan kasih sayang
Dan mungkin dari sini aku memulai kembali
Dengan cerita yang berbeda. _gadis bergamis ungu_


Sudah tiga tahun aku menetap di kota Jogja. Kota ini sangatlah istimewa, aku benar-benar merasakan perubahan.aku merasa nyaman tinggal dengan nenek dan kakek. Sekaligus aku membantu mereka mengurus usahanya. Tiga bulan sekali biasanya Mama datang menjenguk. Kau tau? Jogja menyimpan banyak kisah kehidupanku. Aku menemukan sejuta cahaya. Kedamaian, kebersamaan, dan juga cinta. Mungkin aku sudah jatuh cinta dengan Jogja. Ah, lebih tepatnya, aku menemukan rasa yang tidak bisa diartikan lewat kata. Ya! Aku bertemu dengan nya di usia 15 tahun, kelas 3 SMP.


            Aku menemukan secarik kertas puisi itu di atas meja perpustakaan, di sampingnya masih tergeletak buku tulis dan juga buku Biologi. Entah rasa penasaranapa yang menghantuiku,ku masukkan kertas puisi itu dalam saku celana.
            “Maaf, Mas. ini buku pinjaman saya. Kalau Mas-nya mau baca Biologi juga, rak-nya ada di ujung sebelah timur,” ia terlihat tergesa-gesa pergi membawa bukunya.
            Aku hanya tersenyum manis, ingin menanyakan nama, tapi ia berlalu begitu saja. Ah! Sudahlah. Bukankah aku masih memiliki kertas puisi itu.
###
            Suasana Jogja masih sangat mendamaikan hati.terlebih karena setiap harinya aku selalu menemani nenek di balkon atas.menunggu cahaya senja dengan warna keemasan yang begitu cantik.
            “Nek, cerita dong awal mula kisah cinta nenek sama kakek” tanyaku sambil memandang nenek.Yang ditanya hanya tersenyum, menoleh dan mengelus rambutku.
“Hem….jangan-jangan cucu nenek yang satu ini lagi jatuh cinta yah? Hayo…bentar lagi kamu itu ujian nasional. Jangan dulu mikir cinta.”
“Ah nenek, Dimas itu cuma nanya, emang nya tadi Dimas bilang lagi jatuh cinta? “ aku mendengus kesal.
“Kisah cinta nenek itu…..gado-gado! Banyak campuran kisah didalam nya. ada kesedihan, keceriaan, kebahagian, keterpurukan dan juga kekecewaan. Coba Dimas lihat senja itu” nenek menunjuk kearah barat, tepat di depan kita mega merah yang hendak terbenam.
“Bukankah dari tadi kita menunggu senja? Tapi kenapa ia berlalu begitu cepat? Seolah ia tak mengerti bahwa kita duduk disini menanti keindahan cahayanya di langit sana,” nenek masih memandang senja.
“Maka itulah kehidupan, itulah cinta yang nenek rasakan dulu Dimas….ada kebahagian ketika senja itu nampak dengan warna yang menghiasi langit, ada kekecewaan ketika senja itu cepat berlalu dari pandangan kita, ada keterpurukan ketika kita harus menghitung putaran jam dan bersabar menanti kehadiran senja. Tapi nenek tidak pernah membenci senja, walau ia harus terbenam meninggalkan langit bumi, karena sesungguhnya  ia terbenam demi kehadiran bulan dan bintang yang juga memiliki keindahan dalam menghiasi langit malam. Di situlah nenek belajar arti keikhlasan,” Nenek menghentikan kata-katanya.
Tepat sekali! Senja itu tak terlihat, lampu-lampu kota mulai menerangi jogjaku. Aku tak ingin bertanya lebih lanjut.ungkapan nenek tadi sudah cukup memberiku banyak penjelasan.sekarang aku mengerti mengapa nenek begitu mencintai senja.
Aku mengeluarkan kertas puisi milik gadis itu, kutunjukkan pada nenek.
Masihkusimpan setangkup rindu, dalam sudut hati dimana keresahan membias sendu.
seperti tinta hitam yang merindukan kertas putih.
Ya! Aku rindu merangkai kata dalam bait cerita.
Aku rindu melukis sajak cinta dalam balutan kasih sayang.
dan mungkin dari sini aku memulai kembali.
dengan cerita yang berbeda.
 _gadis bergamis ungu_
“Dimas menyukai sajak tulisan itu nek” aku tersenyum
“Siapa namanya” nenek tersenyum
Aku menggeleng, berpikir! Apakah ini sebatas sebuah perasaan, apakah aku harus menyebutnya cinta monyet?
“Ayah pasti marah kalau tau ini” gumanku pelan.
“Kenapa bisa seyakin itu?”
“Ah! Nenek, seperti tidak kenal Ayah saja….belajar, belajar belajar,” aku tertawa
Yah! Usiaku 15 tahun, aku jatuh cinta pada puisi itu, wajah itu dan entah itu siapa, gadis bergamis ungu.
###
Usiaku 20 Tahun
Usiaku 20 Tahun
Kau selalu ajarkan aku bahwa pagi adalah permulaan hari yang harusku syukuri
Kau selalu ajarkan aku bahwa siang bukanlah semangat yang harus di hilangkan
Kau selalu ajarkan aku aku bahwa sore memiliki senja yang begitu indah dalam menutup harinya
Sekarang aku mengerti, semua hal yang kau ajarkan  dalam hidupku adalah bagian dari  cintamu
Cinta untuk membuatku memiliki masa depan yang begitu cerah
Entah itu amarah, pukulan, dan ocehan
Sekarang aku mengerti, itulah caramu yang membuatku memiliki berbagai warna kehidupan.
Trimakasih
Ayah, usiaku 20 tahun. Lihat, aku sudah sarjana semester lima. Ini puisi aku persembahkan untukmu. Aku letakkan di sini ya? Semoga engkau tenang di sana. Kutinggalkan secarik puisi di atas pusara Ayah yang masih haru. Terimakasih, Ayah; mengijinkan aku menjadi anakmu.
###

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Teori Uses And Gratification

Cara Menjaga Konsentrasi Dalam Menghafal Al-Qur’an

MADURA, I AM IN LOVE: MADURA DI MASA DEPAN