Assalamualaikum :)
Oke
guys,,, kali ini yang menjadi tema pembahasan kita adalah tentang hal kecil
dalam kehidupan kita, namun terkadang sulit di aplikasikan. Apalagi kalau bukan
“memaafkan”. Tidak bisa di pungkiri bahwa dalam putaran
kehidupan ini, kita tidak bisa dipisahkan dalam sebuah permasalahan. Dan
terkadang kita masih banyak menemukan mereka yang mengedepankan ego sehingga
dalam sebuah permasalahan tidak terjadi perdamaian. Yah penyebabnya karena
diantara kedua belah pihak tidak ada
yang meminta maaf ataupun yang mau memaafkan.
Allah berfirman: "...dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang
dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang." (QS. An Nuur, 24:22)
Pemahaman
orang-orang beriman tentang sikap memaafkan sangatlah berbeda dari mereka yang
tidak menjalani hidup sesuai ajaran Al Qur'an. Meskipun banyak orang mungkin
berkata mereka telah memaafkan seseorang yang menyakiti mereka, namun perlu
waktu lama untuk membebaskan diri dari rasa benci dan marah dalam hati mereka.
Sikap mereka cenderung menampakkan rasa marah itu. Di lain pihak, sikap
memaafkan orang-orang beriman adalah tulus. Karena mereka tahu bahwa manusia
diuji di dunia ini, dan belajar dari kesalahan mereka, mereka berlapang dada
dan bersifat pengasih. Lebih dari itu, orang-orang beriman juga mampu memaafkan
walau sebenarnya mereka benar dan orang lain salah. Ketika memaafkan, mereka
tidak membedakan antara kesalahan besar dan kecil. Seseorang dapat saja sangat
menyakiti mereka tanpa sengaja. Akan tetapi, orang-orang beriman tahu bahwa
segala sesuatu terjadi menurut kehendak Allah, dan berjalan sesuai takdir
tertentu, dan karena itu, mereka berserah diri dengan peristiwa ini, tidak
pernah terbelenggu oleh amarah.
Nah,
pembaca yang budiman....menurut buku tatang sutarman (eh, maap ! emang nya
sule...)
Dalam
bukunya, Forgive for Good [Maafkanlah demi Kebaikan], Dr. Frederic Luskin
menjelaskan sifat pemaaf sebagai resep yang telah terbukti bagi kesehatan dan
kebahagiaan. Buku tersebut memaparkan bagaimana sifat pemaaf memicu terciptanya
keadaan baik dalam pikiran seperti harapan, kesabaran dan percaya diri dengan
mengurangi kemarahan, penderitaan, lemah semangat dan stres. Menurut Dr.
Luskin, kemarahan yang dipelihara menyebabkan dampak ragawi yang dapat teramati
pada diri seseorang. Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa:
Permasalahan
tentang kemarahan jangka panjang atau yang tak berkesudahan adalah kita telah
melihatnya menyetel ulang sistem pengatur suhu di dalam tubuh. Ketika Anda
terbiasa dengan kemarahan tingkat rendah sepanjang waktu, Anda tidak menyadari
seperti apa normal itu. Hal tersebut menyebabkan semacam aliran adrenalin yang
membuat orang terbiasa. Hal itu membakar tubuh dan menjadikannya sulit berpikir
jernih – memperburuk keadaan.
So
guys...
Semua
penelitian yang ada menunjukkan bahwa kemarahan adalah sebuah keadaan pikiran
yang sangat merusak kesehatan manusia. Memaafkan, di sisi lain, meskipun terasa
berat, terasa membahagiakan, satu bagian dari akhlak terpuji, yang
menghilangkan segala dampak merusak dari kemarahan, dan membantu orang tersebut
menikmati hidup yang sehat, baik secara lahir maupun batin. Namun, tujuan
sebenarnya dari memaafkan –sebagaimana segala sesuatu lainnya – haruslah untuk
mendapatkan ridha Allah. Kenyataan bahwa sifat-sifat akhlak seperti ini, dan
bahwa manfaatnya telah dibuktikan secara ilmiah, telah dinyatakan dalam banyak
ayat Al Qur’an, adalah satu saja dari banyak sumber kearifan yang dikandungnya.
Jadilah
pemaaf yang berhati tulus
Comments
Post a Comment